Saturday, October 16, 2010

Deru Maut Pantai Selatan

Pesta baru saja reda. Sampah kertas dan plastik masih berceceran di jalanan pantai Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat. Selama dua pekan, kawasan wisata di pe-sisir selatan Pulau Jawa ini penuh sesak- dikunjungi orang yang me-nonton 16 acara hajatan raya, di antaranya Pemilihan Putra dan Putri Pantai, Patok (adu kambing), Pameran Bonsai, Lomba Burung Berkicau, Festival Ronggeng, dan bebera-pa pergelaran musik.

Puncaknya, lomba layang-layang internasional yang diikuti wakil dari delapan negara, Ahad dua pekan lalu. Dinas Pariwisata setempat mencatat sekitar 20 ribu orang berkumpul di pantai pada akhir pekan. Sampai-sampai 113 hotel tak mampu menampung wisatawan di akhir musim liburan sekolah itu. "Hari Minggu, jalan ini macet mulai dari siang sampai petang," kata Achmad Basori, pemilik warung di pinggir jalan yang menghubungkan Pangandaran d-engan Tasikmalaya.

Esok harinya, Pangandaran mulai lengang. Hotel-hotel kosong. Senin pagi pekan lalu, Turiman, 28 tahun, yang bekerja di Hotel Malabar, mulai sibuk membersihkan kamar-kamar. Sorenya, ia mengganti seprai. Saat itulah, tiba-t-ba, ranjang yang baru diganti seprainya itu bergetar. Ayunan lampu gantung di atap kamar menyadarkan dia agar segera menyelamatkan diri. "Saya takut atap ambrol," katanya.

Jarum jam menunjukkan angka 15.19 WIB. Turiman lari ke jalan di depan hotel, disusul teman-temannya. Jalan yang membatasi bangunan dengan bibir pantai itu segera terisi kelompok-kelompok kecil manusia. Mereka saling bertukar kisah tentang getaran yang mereka rasakan. Beruntung tak ada bangunan yang roboh. Eh..., tunggu dulu! Turiman melihat ke-anehan di pantai. Air menyusut dengan cepat hingga seratusan meter ke arah laut.

"Tsunami, Tsunami!" Turiman berteriak saat melihat keganjilan alam itu.

Vespa Kenangan dari Kongo

Vespa itu seperti istri kedua bagi Iswadi. Setiap hari, pria berusia 29 tahun ini tak pernah alpa mengelus kendaraan roda dua yang dibelinya lima tahun lalu: 150 cc buatan 1963, dalam kondisi seadanya, seharga Rp 2,8 juta. Satu yang disesalinya kini adalah keputusan memodifikasi mesin vespanya tiga tahun lalu. "Maunya sih biar larinya kencang," kata Iswadi yang tinggal di Perumahan Kelapa Gading Permai, Jakarta, ini.

Gara-gara modifikasi, kini harga jual kembali motor itu hanya Rp 5 juta. Padahal, jika semuanya masih asli, harganya bisa empat kali lipatnya. Tingginya harga itu karena sejarah penting di balik vespa. Dari kuitansi pembelian bisa dibaca: dari Brigade Indonesia Garuda 3, Bandung.

Motor bahenol buatan Italia produksi 1958 hingga 1963 itu di Indonesia punya sebutan khusus: Vespa Congo. Yang model begini memang hanya dimiliki mantan Kontingen Garuda II dan III yang bertugas ke Kongo, Afrika.

Sejarah mencatat, Indonesia mengirimkan pasukan militer yang berjulukan Kontingen Garuda ke Kongo dua kali: 1960 dan 1962. Sepulang dari Kongo, Presiden Soekarno memberi piagam penghargaan, radio, juga motor vespa.

Wednesday, August 18, 2010

Jalan Lurus walau Kokpit Buta

Pilot Adam Air tak jarang menerbangkan pesawat dengan deretan instrumen di kokpit yang rusak. Ada yang nyasar, yang lain memilih mundur.

Perhatian Kapten Pilot Sutan Solahu-din terhenti saat membaca satu bagian pada catatan yang baru diterimanya. Laporan itu menyebut, Boeing 737-300 yang akan diterbangkannya sejam lagi mengalami kerusakan pada sistem navigasinya. Catatan itu dibolak-balik, tetapi ia tak juga menemukan surat keterangan dari bagian teknik bahwa pesawat layak terbang. Sutan menolak menerbangkan pesawat milik maskapai Adam Air itu dari Jakarta ke Padang. "Tapi saya ditekan pihak owner (pemilik) melalui telepon agar menerbangkan pesawat itu," katanya.

Sutan akhirnya menyerah dan menerbangkan pesawat tanpa alat navigasi itu. Pesawat itu terbang seperti orang berjalan dengan mata tertutup saja. Selama penerbangan ia mengkhawatirkan keselamatan sekitar seratus penumpang yang dibawa-nya. Dia harus memakai insting untuk mencari arah Kota Padang. Untunglah, pengalaman terbang Sutan membuat pesawat tidak nyasar.

Setelah insiden itu, Sutan merasa tidak nyaman dan aman bekerja di maskapai Adam Air. Saat dia berbagi cerita dengan kawan-kawannya sesama pilot, ternyata peristiwa serupa pernah mereka alami. Akhirnya Sutan bersama 16 pilot lainnya memutuskan mengundurkan diri dari Adam Air, Mei 2005.

Ternyata keputusan mundur itu berbuntut panjang. Pihak Adam Air menuding rombongan pilot itu menyalahi kontrak kerja. Perusahaan membawa kasus ini ke pengadilan perdata. Mereka harus membayar semua biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan, plus ganti rugi imateriil. Rata-rata setiap pilot harus membayar Rp 3,6 miliar. "Terus terang saya tidak sanggup membayar uang sebesar itu," kata Sutan saat mengadukan nasibnya ke Komisi V DPR, Maret tahun lalu.

Di Bawah Lindungan Kubah

Salat zuhur berjemaah di masjid Pesantren Amanah baru saja rampung. Lazimnya, lebih dari separuh masjid terisi. Namun selama dua pekan terakhir yang hadir hanya dua shaf jemaah. Penghuni sekitar masjid di kawasan Tanah Runtuh, Desa Gebang Rejo, Poso Kota, masih takut pulang sejak ada penyerangan besar-besaran oleh aparat kepolisian pada Senin dua pekan lalu.
Di bawah kubah masjid itu, Tempo menemui Haji Adnan Arsal. Dia sedang duduk-duduk dengan Ilyas Asapa. "Rasanya belum lama mereka bermain bola di lapangan," kata pendiri Pesantren Amanah itu sambil menatap pelataran masjid yang lembap tersiram rintik hujan.

Friday, August 13, 2010

Jati Unggul di Atas Emas

MUNGKINGKAH hutan jati Indonesia yang kian gundul bisa segera hijau? Mimpi itu bisa menjadi kenyataan kalau saja penemuan bibit jati unggul dari hasil kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Seameo Biotrop Bogor, serta PT Pupuk Kalimantan Timur dapat didayagunakan secepatnya. Rabu pekan lalu, ketika Hatta Radjasa, Menteri Negara Riset dan Teknologi yang juga Kepala BPPT, mengunjungi Pusat Pe-nelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi BPPT di Serpong, Jawa Barat, bibit jati yang bisa berusia produktif sepertiga dari jati biasa itu ditunjukkan oleh tim peneliti tersebut.

Jati lebih cepat produktif itu berasal dari induk jati spesies Tectona yang mempunyai kayu berkualitas kelas satu. Biasanya kayu jati yang banyak tumbuh di sekitar Cepu, Jawa Tengah, ini bisa dipanen dengan diameter 45 sentimeter kalau usianya sudah 30-45 tahun. Namun, jati unggul hasil rekayasa BPPT hanya membutuhkan waktu 15 tahun untuk mencapai kayu bergaris tengah seperti itu. Tanaman unggul ini juga menghasilkan kayu kualitas kelas dua atau kelas tiga atau mendekati kelas induknya.

Jati ala BPPT diperoleh lewat teknik kultur jaringan. Dengan teknik ini, jaringan tumbuh dari sebuah pohon jati induk berusia di atas 80 tahun diambil untuk dibiakkan sebagai kultur utama di media agar-agar. Kebutuhan hidup jaringan itu dipenuhi, dari nutrisi, zat pengatur tumbuh, hormon, antihama, bakteri, hingga antibiotik.

Dari tiap-tiap media lantas diperoleh lima subkultur. Setiap subkultur dikenai perlakuan seperti jaringan induknya, untuk menghasilkan lima subkultur kedua. Begitu seterusnya sampai subkultur keenam. Pembiakan berikutnya tak dilakukan lagi lantaran dikhawatirkan terjadi perubahan sifat genetis yang drastis.

Untuk memperoleh satu subkultur, diperlukan waktu sebulan. Artinya, dari pembiakan selama enam bulan, kultur utama telah menghasilkan 15.625 (dari lima pangkat enam) bibit jati hingga subkultur keenam. Namun, tak semua bibit yang dihasilkan berkualitas bagus. "Kalau bisa mendapat 20 persen saja, itu sudah bisa dikatakan berhasil," ujar Dr. Nadirman Haska dari BPPT.