Saturday, October 16, 2010

Vespa Kenangan dari Kongo

Vespa itu seperti istri kedua bagi Iswadi. Setiap hari, pria berusia 29 tahun ini tak pernah alpa mengelus kendaraan roda dua yang dibelinya lima tahun lalu: 150 cc buatan 1963, dalam kondisi seadanya, seharga Rp 2,8 juta. Satu yang disesalinya kini adalah keputusan memodifikasi mesin vespanya tiga tahun lalu. "Maunya sih biar larinya kencang," kata Iswadi yang tinggal di Perumahan Kelapa Gading Permai, Jakarta, ini.

Gara-gara modifikasi, kini harga jual kembali motor itu hanya Rp 5 juta. Padahal, jika semuanya masih asli, harganya bisa empat kali lipatnya. Tingginya harga itu karena sejarah penting di balik vespa. Dari kuitansi pembelian bisa dibaca: dari Brigade Indonesia Garuda 3, Bandung.

Motor bahenol buatan Italia produksi 1958 hingga 1963 itu di Indonesia punya sebutan khusus: Vespa Congo. Yang model begini memang hanya dimiliki mantan Kontingen Garuda II dan III yang bertugas ke Kongo, Afrika.

Sejarah mencatat, Indonesia mengirimkan pasukan militer yang berjulukan Kontingen Garuda ke Kongo dua kali: 1960 dan 1962. Sepulang dari Kongo, Presiden Soekarno memberi piagam penghargaan, radio, juga motor vespa.


Vespa yang dibagikan dua jenis. Vespa 150 cc berwarna hijau dihadiahkan kepada perwira. Sedangkan vespa 125 cc dengan warna kuning atau biru diberikan kepada prajurit. Setiap vespa dilengkapi tanda nomor prajurit pada sisi sebelah kiri stang yang terbuat dari bahan kuningan. Sejak itulah motor jenis skuter ini untuk pertama kalinya berseliweran di Indonesia.

Kongo hanyalah salah satu negara yang pernah menjadi tujuan Kontingen Garuda. Indonesia tercatat sudah 49 kali terlibat dalam pengiriman pasukan perdamaian ke Asia, Afrika, dan Eropa dengan total jumlah personel sekitar 16 ribu. Kontingen Garuda pertama dikirimkan ke Mesir, 1957. Pengiriman kontingen ini dilakukan setelah Majelis Umum PBB memutuskan menarik mundur pasukan Inggris, Prancis, dan Israel dari wilayah Mesir. Indonesia kemudian ikut menjadi bagian Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir.

Setiap penugasan memang memberi kesan tersendiri. Kontingen Garuda sering kali dikabarkan mencapai sukses. Mereka bisa diterima masyarakat setempat karena anggota kontingen selalu bersikap ramah. Seperti juga cerita sukses Kontingen Garuda IX saat bertugas di perbatasan Iran-Irak, 1989. Teknik pelaporan pasukan ini menjadi standard pasukan penjaga perdamaian PBB UNIIMOG (United Nations Iran-Irak Military Observer Group). Pasukan di bawah pimpinan Kolonel Endriartono Sutarto ini mampu membaca peta jenis baru yang banyak didapat di lokasi.

Setelah serbuan Israel ke Libanon, Indonesia mengirimkan 1.000 personel untuk ikut menjaga perdamaian di sana. Keberhasilan pasukan ini diharapkan bisa meningkatkan citra militer Indonesia di mata internasional setelah kerap dituding gagal menjaga ketenangan di Timor Timur tujuh tahun lalu.

Agung Rulianto, Majalah Tempo 21 AGUSTUS 2006

No comments:

Post a Comment