Salat zuhur berjemaah di masjid Pesantren Amanah baru saja rampung. Lazimnya, lebih dari separuh masjid terisi. Namun selama dua pekan terakhir yang hadir hanya dua shaf jemaah. Penghuni sekitar masjid di kawasan Tanah Runtuh, Desa Gebang Rejo, Poso Kota, masih takut pulang sejak ada penyerangan besar-besaran oleh aparat kepolisian pada Senin dua pekan lalu.
Di bawah kubah masjid itu, Tempo menemui Haji Adnan Arsal. Dia sedang duduk-duduk dengan Ilyas Asapa. "Rasanya belum lama mereka bermain bola di lapangan," kata pendiri Pesantren Amanah itu sambil menatap pelataran masjid yang lembap tersiram rintik hujan.
Sepuluh tahun lalu, anak-anak Adnan dan Ilyas tumbuh bersama di Tanah Runtuh. "Kami sering mandi di kuala (Sungai Poso) setelah bermain," kenang Jamil, putra ketiga Adnan. Masa-masa penuh kedamaian itu telah menjadi bagian dari masa silam. Sembilan tahun lalu pecahlah konflik agama di Poso, yang belum kunjung padam hingga awal 2007. Korban nyawa dan harta benda berjatuhan.
Mata Ilyas berkaca-kaca. Dia menarik ujung sarung mengusap air mata sebelum jatuh. "Kemarin Idrus kita baringkan di sana," kata lelaki berusia 55 tahun itu sambil menunjuk ke sudut masjid. Idrus, 25 tahun, adalah putra keempat dari enam bersaudara. Sebutir peluru, yang diduga milik polisi, menembus kepalanya dalam bentrokan terakhir.
Padahal, begitu besar harapan Ilyas pada Idrus. "Dia satu-satunya anak yang saya beri pendidikan agama di pesantren," kata pegawai Dinas Pekerjaan Umum itu. Idrus belajar di Pesantren Ulil Albab, Lampung. Dia lulus satu setengah tahun lalu. Sepulang belajar, Idrus mengajar selama empat tahun di Pesantren Amanah Putra.
Perjumpaan terakhir Ilyas dan Idrus terjadi di jembatan dekat rumah mereka saat polisi mengepung Desa Gebang Rejo. "Mau ke mana kamu?" tanya Ilyas ketika keduanya berpapasan. "Ke sana sebentar, Pak," sang anak menunjuk ke arah suara bentrokan. "Hati-hatilah," kata Ilyas.
Menjelang petang Ilyas mendapat kabar dari Rumah Sakit Daerah Poso, anaknya telah meninggal. Keesokan harinya baru dia berani menjemput jasad anaknya. Idrus dia bawa pulang lalu dibaringkan di bawah kelindungan masjid. Kesedihan Ilyas tak hanya tertumpah pada kematian Idrus. Ada dua lagi anaknya yang kini berurusan dengan aparat hukum.
Muhammad Yusuf Asapa, anak ketiganya, dihukum sembilan tahun penjara di Jakarta pada Juli 2006. Dalam banding, hukumannya dipangkas satu tahun. Yusuf divonis terlibat pembunuhan wartawan Poso Post, I Wayan Sumaryasa, pada 2001.
Kesedihan kian menjadi ketika putra kelimanya, Irwanto Asapa, dituding ikut kelompok Basri. Iwan pun masuk daftar 26 nama yang paling dicari polisi. Ia dituding terlibat dalam pembunuhan jaksa Fery Sialahi, wartawan I Wayan Sumaryasa, dan mutilasi tiga siswi SMA Kristen Poso. Hingga Jumat lalu, polisi belum menemukan jejak Iwan. "Saya juga tidak tahu di mana dia sekarang," kata Ilyas kepada Tempo.
Masih segar dalam ingatan Ilyas masa kecil anak-anaknya. Setiap hari libur keluarga itu naik mobil, bervakansi ke Danau Poso. "Mereka paling suka kalau mamanya membawa bekal ikan goreng," katanya. Mobil yang dibeli Ilyas delapan tahun lalu itu kini ditahan polisi sebagai barang bukti.
Ilyas menolak semua tudingan yang ditumpahkan kepada putra-putranya. Menurut dia, saat beberapa peristiwa yang dituduhkan itu terjadi, Iwan sedang berada di Palu, sedangkan Yusuf di rumah bersama dia. Rumah Ilyas menjadi langganan penggeledahan polisi. Sudah tujuh kali rumahnya diacak-acak dari atas plafon hingga kakus. "Tapi mereka tak pernah menemukan apa-apa," kata Ilyas. Nama Asapa kini amat terkenal di Poso. "Saya disebut bapaknya para teroris. Biarlah, saya ikhlas," ujarnya.
Lelaki yang akan pensiun tahun depan itu kini hidup berdua saja dengan istrinya, ditemani lima ekor kambing. Binatang peliharaan Yusuf yang dulunya 12 ekor. Azan asar berkumandang. Ilyas mengusap wajahnya untuk memulai salat. Sementara istrinya sibuk mengumpulkan kambing yang berlari-lari di tengah hujan.
Agung Rulianto (Poso)
No comments:
Post a Comment