MUNGKINGKAH hutan jati Indonesia yang kian gundul bisa segera hijau? Mimpi itu bisa menjadi kenyataan kalau saja penemuan bibit jati unggul dari hasil kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Seameo Biotrop Bogor, serta PT Pupuk Kalimantan Timur dapat didayagunakan secepatnya. Rabu pekan lalu, ketika Hatta Radjasa, Menteri Negara Riset dan Teknologi yang juga Kepala BPPT, mengunjungi Pusat Pe-nelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi BPPT di Serpong, Jawa Barat, bibit jati yang bisa berusia produktif sepertiga dari jati biasa itu ditunjukkan oleh tim peneliti tersebut.
Jati lebih cepat produktif itu berasal dari induk jati spesies Tectona yang mempunyai kayu berkualitas kelas satu. Biasanya kayu jati yang banyak tumbuh di sekitar Cepu, Jawa Tengah, ini bisa dipanen dengan diameter 45 sentimeter kalau usianya sudah 30-45 tahun. Namun, jati unggul hasil rekayasa BPPT hanya membutuhkan waktu 15 tahun untuk mencapai kayu bergaris tengah seperti itu. Tanaman unggul ini juga menghasilkan kayu kualitas kelas dua atau kelas tiga atau mendekati kelas induknya.
Jati ala BPPT diperoleh lewat teknik kultur jaringan. Dengan teknik ini, jaringan tumbuh dari sebuah pohon jati induk berusia di atas 80 tahun diambil untuk dibiakkan sebagai kultur utama di media agar-agar. Kebutuhan hidup jaringan itu dipenuhi, dari nutrisi, zat pengatur tumbuh, hormon, antihama, bakteri, hingga antibiotik.
Dari tiap-tiap media lantas diperoleh lima subkultur. Setiap subkultur dikenai perlakuan seperti jaringan induknya, untuk menghasilkan lima subkultur kedua. Begitu seterusnya sampai subkultur keenam. Pembiakan berikutnya tak dilakukan lagi lantaran dikhawatirkan terjadi perubahan sifat genetis yang drastis.
Untuk memperoleh satu subkultur, diperlukan waktu sebulan. Artinya, dari pembiakan selama enam bulan, kultur utama telah menghasilkan 15.625 (dari lima pangkat enam) bibit jati hingga subkultur keenam. Namun, tak semua bibit yang dihasilkan berkualitas bagus. "Kalau bisa mendapat 20 persen saja, itu sudah bisa dikatakan berhasil," ujar Dr. Nadirman Haska dari BPPT.
Menurut Nadirman, percobaan kultur jaringan bergantung pada komposisi zat pada media agar-agar. Formula zat pada agar-agar yang bisa menghasilkan pertumbuhan bibit jati secara optimal baru diperoleh tim peneliti pada tahun 2000. Selain itu, kultur utama harus berasal dari induk yang cukup tua. "Bibit dari subkultur bisa lebih cepat tumbuh karena tidak melalui tahapan pertumbuhan alami," kata Nadirman.
Memang bibit jati unggul versi BPPT belum menjawab se-cara langsung dan konkret masalah utama hutan jati Indonesia yang makin gundul. Apalagi, untuk menghijaukan kembali hutan jati, dibutuhkan 30 juta bibit. Sedangkan bibit jati unggul BPPT baru bisa dipanen pada 14 tahun mendatang.
Toh, hasil penemuan itu tergolong terobosan penting. Namun, Hariyanto, seorang pengembang tanaman jati jenis emas di Mojokerto, Jawa Timur, masih meragukan kehebatan bibit jati BPPT. Hari tetap merasa yakin bahwa usia produktif jati emas lebih pendek ketimbang jati BPPT.
Sebagaimana pernah ramai dikabarkan beberapa waktu lalu, kayu jati emas dengan diameter 45 sentimeter disebut-sebut bisa dipanen dalam usia 15 tahun, yang berarti persis dengan jati BPPT. Jati emas, yang berasal dari Thailand, memperoleh sifat-sifat genetis yang baik dari hasil penyilangan beberapa induk jati. Tapi kualitas kayu jati emas hanya kelas empat.
Kritik senada diutarakan Dr. Mohammad Na'iem, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia mengaku tidak percaya bahwa teknik kultur jaringan bisa memperpendek umur jati Cepu. Soalnya, kultur jaringan hanya berfungsi membiakkan sel, sehingga sifat subkultur yang dihasilkan tak berbeda dengan induknya.
Jadi, "Keunggulan bibit jati hasil penemuan itu harus dibuktikan dengan uji genetis," ucap Na'iem. Bagaimanapun, bibit unggul hanya bisa diperoleh dengan merekayasa faktor genetis dan lingkungan suatu tanaman. Lagi pula, Na'iem menambahkan, kendati penerapan teknik kultur jaringan terhadap jati sudah dilakukan sejak 1985 lewat penelitian Perum Perhutani bersama Biotrop Bogor dan Institut Teknologi Bandung, sampai kini informasi genetis pohon jati tak kunjung lengkap. Kalau informasinya belum cukup, bagaimana bisa memastikan hasil rekayasa genetisnya sudah unggul?
No comments:
Post a Comment